Mulanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang Indah. Tempat itu bahkan bagiku tidak layak untuk aku tinggali. Mengarungi gunung, melewati hutan belantara melalui jalan meliuk-liuk ditambah beberapa kubangan dengan berbagai ukuran di atasnya. Sepi. Sunyi. Kosong. Hampa. Seperti tiada kehidupan. Dingin. Suhunya mendekap tubuh.Yang terdengar hanyalah suara-suara binatang mengerik di pucuk balik dahan pepohonan. Diiringi dengan suara gesekan pepohonan yang berhimpitan ditiup angin.
Disela-sela itu, terdengar suara Mobil Carry meraung kepayahan. Seperti tua yang terbatuk-batuk karena umurnya. Asap putih mengepul dimuntahkan dari arah belakang mobil. Memaksakan untuk bisa mengalahkan medan yang sedang dijalani. Medan yang sulit dan berat untuk sebuah carry tua. Tapi dengan santai dan sigap sang pengemudi menginjak gas melaju tanpa khawatir.
Di dalam mobil itulah aku dan 4 orang temanku yang lain, sedang was-was menahan napas. Entah apa yang aku pikirkan. Yang jelas waktu itu aku merasa seperti tawanan perang yang akan diasingkan ke tempat terasing dan terpencil. Bahkan perasaan ekstrimku merasakan bahwa aku dan teman-temanku yang lain seakan dibawa untuk dieksekusi mati. Pikirku, takdirku kini berada antara hidup dan mati.
Semakin jauh perjalanan yang kami tempuh. Semakin tinggi gunung yang kami susuri. Semakin sunyi hutan yang kami lewati. Semakin bersahabat dingin mendekap tubuh kami. Pasrah. Hanya itu ungkapan yang aku bisa terlontar saat itu.
Ada aku dan Empat temanku yang lain. Tiga diantara mereka, adalah asing bagiku. Bahkan nama mereka tidak aku ingat lagi setelah mereka menyebutkannya beberapa saat sebelumnya. Sedangkan satu lainnya, aku sudah kenal sebelumnya. Sangat kenal bahkan. Malik namanya. Usianya memang agak jauh lebih tua dariku (Ups, ada perjanjian dilarang sebut umur). Makanya aku memanggilnya Bang. Bang Malik.
Aku dan Bang Malik duduk di kursi bagian paling belakang. Saling memandang dengan senyuman sinis, berbisik bisikan menyerah. Dan tiga teman asingku duduk di kursi bagian tengah. Satu diantara mereka adalah laki-laki, dan dua diantaranya adalah perempuan. Dan yang duduk di bangku paling depan adalah seorang laki-laki yang kuperkirakan umurnya sudah 40-an ke atas, sebagai pengemudi. Dan disebelahnya adalah isteri dan anak perempuannya yang masih anak-anak.
Melaju pelan tapi pasti. Carry Hijau tua itu membawa kami. Suara obrolan mencoba menjalin keakraban terdengar dari para penumpangnya. Sedangkan aku dan Bang Malik, masih dalam suasanaku sebelumnya. Tapi kami berdua mendengar jelas pembicaraan mereka. Sesekali aku dan Bang Malik menimpali. Bahkan sesekali aku mengeluarkan lelucon yang mungkin Cuma lucu untuk diriku sendiri.
“Wah, kalau rumah mertuakau disini, mungkin aku Cuma akan mendatanginya satu kali setahun saja. Atau bahkan tidak datang-datang menjenguknya” Selaku ditengah obrolan-obrolan mereka.
Dengan segera Bang Malik mencubit ringan pahaku. Mungkin dia takut kalau ada yang tersinggung. Maklum, saya orangnya ceplas-ceplos. Tapi tidak ada perubahan suasana yang berarti dari kata-kataku itu. Seperti angin berlalu. Semakin lama obrolan semakin hangat. Keakraban di atas mobil mulai terasa. Seiring dengan semakin jauhnya jarak yang kami lalui.
Carry Hijau itu terus melaju dengan tenaga tuanya yang tersisa. Suara baut dan besi longgarnya sesekali terdengar saat rodanya terperangkap kubangan jalan. Ribut berisik. Perutku pun terasa di kocok dibuatnya. Dada terasa sesak. Keluhan aduh sepontan keluar dari mulutku. Ampun ma’ !
Handphoneku berbunyi dengan suara khas nada smsnya. “Ooooo.......Rahim...... Angkatseng sms ta’ kodong ! Ngarro Q anak-anak kodongE. Oooooooo.........Rahim........Angkatseng sms ta’ kodongE. Tena tong apa-apa. Ooooo..........Rahim........KodongE.......”
Ah, ternyata sms dari temanku yang di Makassar menanyakan keberadaanku. Aku jawab saja seadanya dan berharap ada balasan lagi darinya. Tapi Handphoneku tidak lagi berdering dalam waktu yang lama. Hingga aku mengeceknya kembali.
“Haaaaaaaaaa..................Tidakkkkkkkkkkk..............” Teriakku seketika.
Tentu saja teman-temanku langsung bertanya padaku
“Sinyal..... Sinyal.....Sinyal....Habis. Tidak ada yang tersisa walau sebatang”
Serentak mereka melihat Handphonenya masing-masing. Hal yang sama terjadi pada Handphone mereka. Tapi Seorang temanku mengangkat Hpnya seraya berkata girang “Aku dapat sinyal. Masih ada. Tapi tinggal satu bat.....”
Belum selesai ia berkata, menyelesaikan kalimatnya, muncul kaliat baru. Kali ini nadanya agak lirih “Aihhhh, hilang juga kasihan”
Ternyata apa yang dibilang Ibu yang duduk di depan terbukti. Kalau tempat yang kami tuju, tidak ada sinyalnya. Bahkan Ibu itu telah memberikan warning sebelumnya, sejak kami masih di daerah perkotaan.
Semakin jauh Mobil melaju. Hingga kini ia berhenti sempurna di depan sebuah rumah. Rumah yang selanjutnya akan menjadi Posko KKN kami selama dua bulan. Dusun Jolle, Desa Umpungeng, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.
Sekali lagi, pada awalnya tidak ada yang istimewa. Tidak ada keindahan. Yang ada hanyalah keterpasungan dan keterasingan. Hanya ada sepi dan gelap. Hanya ada dingin dan angin. Hanya ada pasrah dan menyerah.
Tapi disinilah awal cerita itu. Cerita yang tidak akan habis kata-katanya tentang keindahan, keistimewaan, kebebasan, keleluasaan, kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, kebahagiaan, dan Cinta.
Serial KKN : Catatan Perjalanan ke Lokasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar