Hari itu, untuk pertamanya aku menginjakkan kaki di tanah gunung itu. Ditempat baru yang harus aku tinggali Dua bulan lamanya. Tidak ada seorangpun yang aku kenal. Selain Bang Malik dan tiga orang temanku yang waktu itu masih belum aku tau namanya. Semakin sedih terasa, jauh dari komunitas biasanya. Dua Bulan. Adalah waktu yang lama kami rasakan. Aku cemas menunggu kedatangan hari yang terakhir itu. Aku berpikir, apakah aku akan siap menghadapi hari-hariku selama 60 hari di tempat itu ? Tempat yang jauh dari keramaian. Yang jauh dari bising kota. Yang jauh dari pasilitas perkotaan. Yang jauh dari teman-teman yang aku kenal. Sekali lagi, pasrah. Hanya itu yang bisa dirasakan waktu itu.
“Kita Sudah sampai. Inilah rumah Kepala Desa. Rumah yang akan kalian tempati selama berKKN” Kata Bapak pengemudi yang belakangan aku tau namanya Pak Ukkas, sambil menunjuk sebuah rumah persis dimana tempat kami berhenti.
Rumah panggung. Sederhana dan mungil, bersih dan tertata rapi. Dihalamannya terdapat aneka bunga segar dengan bermacam warna. Sepetak tempat penampungan air yang terbuat dari keramik. Dan sebuah makam yang dari ukurannya adalah makam anak bayi yang terpagari rapi.
Di depan pintu seorang wanita setengah baya tersenyum ramah ke arah kami. Ada tatapan bahagia dimatanya. Ada sentuhan kebaikan dibalik senyumnya. Ada sentuhan kasih sayang di sapaannya. Ada uluran tangan keiklasan menerima kedatangan kami. Dia adalah Ibu desaku. Ya. Isteri Kepala desa Umpungeng. Yang mungkin akan menjadi ibu kami selama dua bulan kedepan. Yang rumahnya akan menjadi rumah kami juga.
Aku dan teman-temanku yang lain menurukan barang masing-masing dari mobil. Satu persatu tas-tas yang berisi perlengkapan selama dua bulan itu diturunkan. Ketika aku menurunkan tas yang terakhir, aku merasa kewalahan. Pasalnya, tas yang satu ini ukurannya berbeda dengan yang lainnya. Apalagi beratnya. Pasti juga jauh lebih berat dari tas-tas yang lain. Tas yang tidak normal, pikirku. Aku meminta bantuan temanku yang lain. Wah, ternyata masih kewalahan juga. Hingga Bang Malik turun tangan mengatasinya (Bang Malik jadi Hero). Kami Mengangkatnya bertiga. Tapi beratnya masih juga tersa. Terlebih ketika kami membawanya naik menaiki tangga rumah.
“Kayaknya di dalamnya ini ada kulkas atau mesin cuci, atau televisi, atau dapur, atau pembantunya sekalian dibawa” Cetusku. Mencoba menguasai suasana.
Yang lain serentak tertawa setelah mendengar guyonan kecil dariku. Apalagi si peilik tas. Ikut tertawa mendengar tuduhan yang dilontarkan padanya.
“Bisanya itu. Cuma pakaian dan perlengkapan wanita isinya. Gak ada yang lain” jawabnya membantah tebakanku sambil tertawa kecil.
Dalam hatiku “Dasar cewek. Gak pernah mau kekurangan apalagi ditinggalkan sama perkakasnya”
Huh, sedikit capek. Lumayan membuat napas ngos-ngosan. Kami dipersilahkan duduk di kursi ruang tamu. Suasana hening sejenak. Yang terdengar hanya suara napas yang berhembus kencang. Namun suasan itu segera saja mencair, ketika Ibu desa mengeluarkan minuman pelepas dahaga untuk kami.
Tidak tau dari mana awal mulanya, suasana antara kami semakin akrab terasa. Semakin banyak topik pembicaraan yang kami perbincangkan. Walaupun aku, masih belum tau nama persis tiga temanku yang lain. Aku tidak mencoba menanyakannya lagi. Tapi aku membiasakan diri mendengar dan menghapal nama mereka ketika satu persatu dari mereka mengenalkan diri pada penghuni rumah itu.
Denny Saskin (Biasa saya dipelesetkan Denny miskin) yang selanjutnya akan berperan sebagai Koordinator Desa. Evianti yang aku panggil dengan sebutan dua huruf saja, EV yang akan berperan sebagai Bendahara Desa. Dan Yemima yang kemudian akrab aku panggil dengan nama MIM yang selama berKKN akan bertugas sebagai sekretaris Desa. Aku dan Bang Malik ? Ah, kami sepakat memilih untuk tidak mengambil peran kecuali sebagai anggota saja. Dengan alasan-alasannya tersendiri.
Kamipun dipersilahkan masuk ke dalam kamar masing-masing. Kami tiga orang laki-laki mendapatkan kamar depan, yang berdekatan dengan ruang tamu. Sedangkan dua teman cewek mendapatkan kamar dibagian belakang, yang berbatasan langsung dengan dapur. Bukan Cuma mereka berdua. Ternyata ada seorang perempuan pemilik kamar bersama mereka juga. Perempuan itu adalah sepupu Bapak Desa yang sudah tinggal lama disana. Matahari nama lengkapnya. K’ Ita, itulah panggilan akrab kami memanggilnya.
Pekerjaan yang aku lakukan untuk pertama kalinya adalah mendeteksi keberadaan Sinyal. Terutama di dalam kamarku. Karena sejak dipertengahan jalan, sinyal sudah pergi meninggalkan HP kami. Benar saja yang dibilang isterinya Pak Ukkas. Di Jolle tidak ada sinyal kecuali dengan memakai antena. Hanya orang-orang beruntung saja yang mendapatkan sinyal tanpa menggunakan antena. Itupun keberuntungannya tidak akan berlangsung lama. Karena sinyalnya datang dan pergi sesuka hati. Sementara antena satu-satunya di rumah pak desaku hanya berada di kamarnya teman-teman cewek. Inilah ketidak beruntungan pertama yang kami daptkan.
Aku mondar mandir di dalam kamar mendeteksi sinyal dengan HP. Dari satu sudut ke sudut yang lainnya. Bahkan aku mencoba mencari jaringan di kolong ranjang. Alfa. Tidak ada yang terdeteksi. Aku juga mencobanya di belakang pintu. Sia-sia. Tidak ada hasil. Akupun mencobanya di balik lemari. Hasilnya tetap sama. Sinyal sudah tidak tidak lagi bersahabat denga HPku. Kalau bahasa pernikahannya, talak tiga. Oh tuhan, apa salahku dan salah ibuku (kayak Wali) hingga tidak ada kutemukan sinyal walau sebatangpun, atau hanya setengah batang saja.
Tidak ada harapan. Degaga harapang. Sinyal tidak juga aku temukan. Serasa sedikit kehidupan telah hilang dariku. Karena tidak ada bagian nyawa yang tersisa disana. HP yang tidak bersinyal.
“Susah menjadi orang kaya di desa ini. Tidak bisa bergaya” Gumamku sambil masih berusaha mencari jaringan. Ampun ma’ ! kata itu lagi yang terlontar dariku untuk mengungkapkan keputus asaan.
Satu titik dalam kamar itu yang belum aku datangi. Di Jendelanya. Ya. Jendela Naco yang letaknya persis disamping ranjangku. Aku mensetting pengaturan Hpku di posisi mencari jaringan secara manual. “Mencari jaringan” Begitu tulisan di Hpku setelah itu. Aku letakkan Hpku diantara kaca jendela, sambil menjaganya. Karena salah sedikit, HP bisa jatuh terlempar keluar. Dan nasibnya setelah itu tidak tau akan bagaimana.
Dengan harap-harap cemas, aku menunggu laporan hasil dari pencarian jaringan di Hpku. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, 3 operator ditemukan. Indosat, Xlindo, dan tentunya Telkomel.
“Alhamdulillah.....Horee.........Asyik.........dsb. aku mendapatkan sinyal”. Semua ungkapan kegirangan terlontar dari mulutku.
Walaupun yang aku dapatkan hanya satu batang sinyal. Tapi kadang-kadang naik menjadi dua, bahkan tiga. Tapi tidak pernah full menjadi empat batang. Bagian nyawaku yang hilang kembali lagi. Karena setelah sinyal aku temukan, sms beruntun masuk berlomba memasuki Hpku, menambah kotak masuk.
Aku adalah orang pertama yang menemukan sinyal di jendela itu. Walaupun tidak sehebat Einsten dan ilmuan yang lainnya, tapi aku merasa bahagia sebagai penemu tempat sinyal pertama di kamar itu. Karena setidaknya, dua temanku yang lain bisa menikmati hasil penemuanku. Yang bagiku sangat berarti keberadaannya, begitu juga temanku yang lain.
Pertemuan Pertama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar