Pasti menagis terisak ketika Ia menyambut keadatanganku. Bukan. Bukan karena sedih, tapi itulah ekspresi bahagia yang paling tingginya untukku. Memelukku dengan rengkuhan sayangnya. Menciumku dengan kasihnya. Membelai lembut rambutku dengan cintanya. Selalu begitu ketika aku datang padanya dalam waktu yang lama. Menggandeng tangan dan menuntunku masuk ke dalam rumah. Bukan hanya sampai kedalam saja. Dia menuntunku sampai aku merasa nyaman.
Suara tangisnya sudah tidak terdengar lagi, kini ia menjadi sibuk. Sibuk mengurusi diriku. Membersihkan rambutku dari debu-debu jalanan ketika angin meniupkannya di kepalaku. Bahkan ketika rambutku ia rasakan kering, dengan segera ia mengambilkan minyak rambut tradisional. Orang biasa menyebutnya Orang-aring. Menata rapi rambutku, menyisirnya hingga tidak terlihat kering dan kusut lagi.
Membantu melepaskan jaket yang aku kenakan. Sambil meniup-niup, mencoba menghilangkan keringat di leherku. Mengambil benda yang terdekat yang bisa di jadikan kipas. Di kipas-kipaskan ke tubuhku. Bahkan dengan nada yang sedikit panik, ia menyuruhku pergi menyiramkan air ke tubuhku untuk menghilangkan rasa panas. “Panas nak. Makanya kamu keringatan begini”
Ekspresi wajahnya mulai berubah. Ketika ia sudah melihatku merasa nyaman. Kini senyuman manisnya dapat kulihat jelas. Ada rahasia yang tersimpan di matanya. Ada banyak cerita yang terdapat di keningnya. Mengelus-elus bagian belakang tubuhku seraya menatapku tajam penuh cinta dan bahagia. Sesekali ia mengusap wajah kusamku dengan kain yang ia kenakan. Atau semampunya menyapu-nyapu wajahku dengan tangan lembutnya. Selalu menanyakan “Punya siapa ini” ketika ia menemukan benjolan kecil di bagian wajahku.
“Nak, ternyata kau sudah besar. Terkadang ibu tidak percaya kalau engkau terlahir dari rahimku. Engkau bukanlah anakku yang kecil dulu. Yang wajahmu penuh dengan tanah-tanah bekas engkau bermain. Yang setiap kamu makan, pasti meminta telur rebus. Yang perutmu tidak pernah kosong oleh makanan. Hingga engkau disebut-sebut si Besar perut oleh teman-temanmu. Tapi kini engkau telah menjadi lelaki dewasa, kekar dan tegar. Kedewasaan dalam berpikir, kekar dalam menjalani dan menempuhnya, tegar dalam menghadapinya. Kini kau sudah besar”
“Nak, sekarang kau sudah besar. Bukan lagi anakku yang beringus belasan tahun yang lalu. Yang pipimu pasti dipenuhi olehnya ketika engkau mencoba untuk membersihkannya. Bahkan terkadang engkau menggerutu ketika ibu menyuruhmu membersihkannya dengan baik. Karena asyik dengan aktifitas bermainmu. Hingga ibu membantumu membersihkannya dengan sedikit memaksa. Tapi sekarang tidak ada lagi kulihat kotoran di wajahmu. Ibu ingin wajahmu selalu begini. Bersih memancarkan aroma kebaikan. Jangan lagi ada cela yang membuat wajahmu tertutup oleh kotoran. Bersihkan dan jaga ia selalu”
“Nak, sekarang kau sudah besar. Bukan lagi anakku yang suka bermain lumpur dan pasir. Yang setiap kamu pulang pasti merubah warna pakaianmu dengan warna tanah. Walaupun ibu mengganti dengan yang baru, pasti akan berulang lagi seperti itu pada bajumu. Hingga terkadang membuat ibu marah, dan menjewer telingamu. Atau menyambuk badanmu dengan lidi. Atau memukul lenganmu dengan tangan. Hingga engkau menagis meraung. Dengan wajah polosmu, engkau berulang kali meminta ampun, berjanji untuk tidak mengulanginya. Tapi itu tidak akan berlangsung lama. Tapi sekarang engkau sudah tau cara berpakaian rapi, bersih, dan santun. Baumu harum dengan wewangian. Ketika ada setitik noda di bajumu, dengan segera engkau membersihkannya. Itu menandakan engkau bisa santun dan sopan dalam berpenampilan. Jangan terlalu berlebihan. Jangan memamerkan. Karena bersih bajumu, akan kotor di pandangan orang ketika kesombongan menguasaimu”
“Nak, sekarang kau sudah besar. Dulu bicaramu tidak jelas dan tidak beraturan. Membuat terkadang dirimu menangis ketika ibu tidak mengerti apa yang kau mau dan maksudkan. Menangis keras. Keras sekali. Sampai orang-orang datang menanyakan pada ibu sebab tangismu itu. Tapi aku Ibumu, sangat tau apa yang harus aku lakukan supaya tangismu terhenti. Telur cumi-cumi. Ya. Telur cumi-cumi. Itulah pereda tangismu. Telur cumi-cumi dalam sebuah mangkok besar. Tapi sekarang bicaramu terarah, jelas dan tegas. Lantang dan bergeuruh. Nyaring dan berirama. Berintonasi dan bernada. Jangan biarkan nadanya membentuk irama-irama tak beraturan ”
“Nak, sekarang engkau telah besar. Lebih tinggi dari aku. Sudah dewasa dalam berpikir. Sedangkan Ibu sudah mulai menua. Engkau sekarang sudah bisa membedakan yang benar dan yang salah. Yang baik dan yang buruk. Yang pantas dan tidak pantas. Bahkan engkau sudah bisa mengenal Cinta dan benci. maka pilihlah pilihan yang terbaik di antara pilihan-pilihan itu”
“Nak, sekarang kau sudah besar. Buakan lagi anakku yang selalu Ibu mandikan ketika bangun pagi. Yang selalu ibu suapi ketika engkau makan. Yang selalu ibu gendong dalam perjalanan jauh. Kini engkau sudah mandiri. Bisa melakukan banyak hal tanpa bantuan orang lain. Sudah bisa menatap masa depan dengan perencanaan-perencanaanmu. Sudah bisa berlari mengejar impianmu. Hingga menembus batas langit. Belari dan kejarlah terus ! Hingga dari kuku-kuku kakimu akan memercikkan percikan apai. Jangan menunggu orang lain. Jangan menjadi orang yang ketergantungan. Jangan menjadi manusia malas, lemah, dan pengecut. Karena engkau adalah seorang pemberani”
“Nak, Sekarang engkau sudah besar. Berpendidikan. Dan memiliki cita-cita. Sedangkan ibu sudah luput ditelan zaman. Tidak sehebat dirimu. Tidak sepintar dan secerdas dirimu. Karena ibu tidaklah berpendidikan sepertimu. Tapi dengan melihatmu kini, aku merasa menjadi ibu yang paling beruntung di dunia. Karena engkaulah titisan kehidupanku. Untuk itu, engkau harus menjaga keberuntunganku ini. jangan engkau mengecewakannya.”
“Nak, sekarang kau sudah besar. Bulu-bulu sudah mulai menumbuhi wajahmu. Kumismu, Jenggotmu. Atau mungkin cambangmu akan tumbuh sebentar lagi. Sama seperti bapakmu. Seperti itulah akan tumbuh juga kepribadian dirimu. Tuntun kepribadianmu itu. Tata rapi ia. Jangan biarkan kepribadianmu membawamu ke lumpu kesesatan. Bawa ia menuju cahaya. Cahaya yang tarang. Hingga disana ia akan menemukan jalan menuju cahaya di atas cahaya”
Dari Ibuku
Meluruskan 'Fitnah' Soal Pernyataan Presiden PKS
Meluruskan 'Fitnah' Soal Pernyataan Presiden PKS [Tabayyun Dong, Jangan Asal Nyebarin:-( Jun 3, '09 3:19 AM
for everyone Bismillahirrohmanir rhiim.
Saya gerah juga melihat orang biaca ini itu tanpa tabayyun dan tanpa fakta yg akurat asal neybar dan ngulas saja soal pernyataan Presiden PKS: Ir.Tifatul Sembiring.
Nah, saya dan Kang Akmal, sudah mendapat tabayyun yg jelas dari yg bersangkutan. Kalau Kang Akmal dari Ustadz-nya yg dapat SMS dari Ir.Tifatul. Alhamdulillah, saya dapat baru saja dari Ir.Tifatul Sembiring.
Saya sedih karena itu sudah disebar kemana2 padahal yg menyebar belum tabayyun. Jk yg menyebar itu kaum munafik sih ga masalah [ingat haditsul 'ifki ya-red] tapi kalau yg menyebar itu ikhwah Muslim yg sama berjuang agar ISLAM bisa tetap tinggi. Itu yg buat saya sedih.
selamat membaca ya;-(
jangan termakan isu jk anda tak tahu apa2 soal PKS. Saya juga ga tahu apa2 tentang PKS:-(
Tapi saya ga asal tulis ini dan itu juga, kalau saya salah tulis, saya ada yg menasehati secara langsung dengan adab yg ALLOH ajarkan.
***
assalaamu’alaikum wr. wb.
Di abad informasi ini, berita dari New York bisa sampai di Indonesia jauh lebih cepat daripada pesawat yang paling cepat sekalipun. Seorang istri ditampar suaminya, sejam berikutnya ribuan orang sudah baca curhatnya. Barangkali itulah sebabnya pihak manajemen RS Omni begitu khawatir pada tulisan Ibu Prita. Internet memang membuat batasan-batasan geografis menjadi tidak relevan.
Kecepatan menjadi kata kunci dalam segala hal. Bermunculanlah situs-situs berita yang mengandalkan kecepatan. Tentu mereka tak perlu bilang bahwa pada level tertentu, kecepatan bisa mengorbankan akurasi. It’s bad marketing, of course. That’s why it’s never been said. Tapi kenyataan itu terjadi berulang kali. Dan kenyataannya, seperti yang berulang kali ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Sirikit Syah, seorang pakar jurnalistik, menuntut tanggung jawab media atas pemberitaan yang dilakukannya sangat mudah. Belum apa-apa sudah dituduh memasung kebebasan berbicara. Tapi menyatakan pendapat dan mewartakan kebohongan adalah dua hal yang sangat berbeda.
Maka kecepatan pun menjadi kata kunci bagi para konsumen berita. Pokoknya asal cepat. Semua ingin jadi yang paling pertama tahu, entah kenapa. Maka jatah siaran infotainment pun diperbanyak, mulai dari pagi, siang, sore, malam, dan konon tengah malam pun ada. Semua ingin cepat-cepat mengetahui, apakah artis A jadi cerai atau tidak, apakah artis B sedang cari jodoh atau masih betah sendiri, atau ingin tahu detil cerita tentang kejutan di acara ulang tahunnya artis C. Tidak masalah beritanya penting atau tidak, yang penting jadi yang pertama mendengarnya. Pada titik ini, akurasi berita sudah hilang sama sekali dari prioritas.
I think about these kinds of things a lot. Kadang jadi masalah sepele, kadang rumit juga, bahkan adakalanya menjadi gawat. Berbeda dengan pola pikir liberal murni yang membatasi hidup pada seputar dirinya saja, kita sebagai Muslim punya tuntutan untuk berpikir sebagai satu tubuh yang saling menunjang. Oleh karena itu, respon terhadap berita yang mungkin mengganggu stabilitas tubuh ini mesti ditanggapi dengan serius. Saya akan menggelar sebuah studi kasus untuk mempermudah kita memahaminya.
Studi Kasus
Senin malam, 1 Juni 2009 yang lalu. Saya sedang pergi keluar, mencari makan malam. Sampailah pesan singkat itu di ponsel saya. Beginilah kutipannya :
Presiden PKS, Tifatul Sembiring, Majalah Tempo, 7 Juni 2009 : “Apa kalau istrinya berjilbab lalu masalah ekonomi selesai? Apa pendidikan, kesehatan, jadi lebih baik? Soal selembar kain saja kok dirisaukan?”
Begitulah kutipan beritanya. Analisisnya? Tenang, masih ada lanjutannya :
Astaghfirullah! Bagaimana jika pertanyaan itu dilanjutkan : “Apa kalau capresnya shalat, puasa, zakat, dan berhaji lalu masalah ekonomi selesai? Apa pendidikan, kesehatan, jadi lebih baik?” Sama dengan shalat, puasa, zakat dan berhaji, jilbab itu perintah Qur’an. Demi koalisi dengan SBY-Boediono, Tifatul tega mereduksi perintah Qur’an jadi “soal selembar kain”. Astaghfirullah!
Pesan singkat di atas tidak saya ubah sama sekali, kecuali beberapa kata yang sebelumnya disingkat, karena untuk kebutuhan SMS memang biasanya orang melakukan penyingkatan kata. Tapiinsya Allah isinya demikian adanya.
Saya cuma geleng-geleng kepala membaca pesan singkat itu. Sayang, pulsa sudah habis untuk menjawabnya.
Keesokan paginya, dari berbagai milis, berita yang sama pun beredar kembali. Ust. Tifatul Sembiring telah melecehkan kewajiban Muslimah untuk mengenakan jilbab, hanya demi koalisi dengan SBY-Boediono. Begitulah cemoohan orang-orang. Penjilat, oportunis, pragmatis, berbagai predikat pun melayang bebas. Muncul pula pertanyaan seputar aqidah ust. Tifatul. Nampaknya inilah titik ekstremnya.
Sebagai penutup kasus, perlu disampaikan pula bahwa pada sore harinya klarifikasi yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Seseorang meneruskan pesan singkat yang dikirimkan oleh Ust. Tifatul sendiri kepada seorang ustadz lainnya yang meminta klarifikasi. Begini bunyinya (sekali lagi, penulisan saya benahi karena konteksnya berubah, dari format pesan singkat menjadi format blog) :
Antum percaya Tempo atau ana? Antum baca deh artikel yang menyerang PKS di Tempo. Dia tanya, “Apakah PKS menekan SBY agar Bu Ani pakai jilbab?”, saya bilang “bukan!”. Dia tanya, “Apakah Bu Ani berjilbab lantaran alasan politik?”, saya jawab “Nggak tahu, tanya langsung ke orangnya!” “Anda ini rewel banget,” kata saya, “urusan selembar kain diatas kepala wanita, die gak pake kerudung ente ributin, dah pake kerudung diributin juga!”. Itu bahasa saya ke Tempo, yang saya tahu wataknya tidak Islami. Nah, percaya siapa?
Klarifikasi datang, kasus ditutup. Tapi yang ingin saya bicarakan bukan kasusnya, melainkan hal-hal kecil yang seringkali terlupakan di sekitarnya.
Ukhuwwah : Sebuah Uji Konsistensi
Setelah klarifikasi datang, terjadilah arus balik. Mereka yang mencemooh kini harus menghadapi nasib sebagai yang dicemooh balik. Kenapa sembarangan mengambil berita? Mengapa Tempo dianggap lebih tsiqah daripada Ust. Tifatul? Mengapa tidak kembali pada materi-materi ukhuwah yang sudah dipelajarinya bertahun-tahun? Mengapa tidak kembali ke ashalah dakwah yang mendahulukan husnuzhzhan dan tabayyun, sebelum ambil kesimpulan dan mem-forward e- mail dan SMS kesana kemari?
Ada yang berkelit, katanya ini bentuk ukhuwwah juga. Kalau ada yang mengkritik PKS, itu artinya dia sayang pada PKS. Yang mencela sebenarnya tengah mengekspresikan ekspektasinya yang sangat tinggi pada PKS, sehingga urusan jilbab ini menjadi sangat penting baginya.
Alhamdulillaah, rupanya ukhuwwah masih disinggung-singgung . Masih ada yang ingat pada ukhuwwah. Tapi bagaimanapun harus dicek konsistensi ucapan dan perbuatannya.
Allah dan Rasul-Nya menghendaki umat Islam ini menjadi satu keluarga besar. Semuanya harus saling memperlakukan bagai saudara, bahkan dalam analogi yang paling tingginya, bagaikan satu tubuh. Kita cukupkan pada analogi ‘saudara kandung’ saja, agar mudah membayangkannya.
Bayangkanlah suatu hari Anda pulang ke rumah, lalu dalam perjalanan disapa oleh seorang penjaga warung yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Anda. Lalu ia bercerita bahwa adik Anda yang terkenal alim itu diam-diam suka berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahram- nya ketika Anda tidak sedang di rumah. Kemudian dengan perasaan marah, Anda pulang ke rumah. Mendapati adik sedang santai-santai di depan teras, ia langsung didamprat di tempat. “Dasar nggak tahu malu! Ternyata kamu begini ya kelakuannya. Main perempuan seenaknya di rumah. Apa kata tetangga? Bikin malu orang tua aja!!!” Tetangga-tetangga dalam radius 30 meter pun ikut menyimak Anda memarahi adik sendiri.
Lima menit kemudian, lewatlah sang penjaga warung dan berkata : “April Mop!” Sayangnya tidak banyak yang mendengar. Sudah banyak yang kembali ke urusannya masing-masing, dengan menyimpan ‘pengetahuan’ bahwa adik Anda ternyata suka main perempuan.
Beginikah yang namanya saudara? Lebih percaya pada orang lain, daripada adik sendiri? Langsung mempermalukannya di depan umum, dan bukannya mengajaknya bicara dari hati ke hati?
Jawaban Ust. Tifatul di atas sebenarnya cukup untuk membuat hati teriris-iris, kalau memang kita merasa bersaudara. Bagaimana perasaan Anda kalau adik, kakak, anak, atau orang tua Anda bertanya dengan getir, “Kamu percaya pada saya atau pada mereka?” Hilangnya kepercayaan orang adalah salah satu hal yang paling menyakitkan yang bisa terjadi di dalam keluarga. Betapa perihnya hati begitu mengetahui bahwa saudara kita sendiri tidak percaya pada kita. Saya harap mereka yang terlanjur mencemooh Ust. Tifatul (dengan alasan “ukhuwwah”) juga merasakan getirnya jawaban beliau.
Dunia Maya dan Tanggung Jawab Moral
Mari berpikir lebih teknis. Begitu dengar berita miring, Anda langsung kirim e-mail ke berbagai milis, SMS ke handai-taulan, bahkan kalau perlu pasang juga di blog atau di Facebook. Ketika Anda mengirimkan sebuah berita, maka Anda pun telah memicu sebuah reaksi berantai. Katakanlah, dalam waktu 2 jam setelah Anda menyebarluaskan berita itu, sudah 1000 orang yang menerima berita itu dan menganggapnya sebagai berita yang benar. Dari 1000 orang itu, ada yang ikut mencemooh, ada pula yang cuma diam saja dan menyimpan informasinya dalam benak.
Dua jam setelah Anda menyebarluaskan berita, muncullah klarifikasinya. Ternyata itu semua bohong belaka! Kalau bicara tanggung jawab moral, maka Anda punya kewajiban untuk menyebarluaskan klarifikasi itu kepada orang-orang yang sebelumnya telah Anda kirimi berita. Tapi apa bisa?
Ya, Anda bisa kirim lagi e-mail dan SMS ke orang-orang dan milis-milis yang sama. Tapi ada dua masalah. Pertama, berita itu sudah bukan hanya berada di tangan orang-orang yang Anda kirimi berita, karena mereka bisa saja sudah meneruskannya ke orang lain. Anda bisa saja bilang bahwa mereka pun bertanggung jawab untuk menghentikan peredaran berita bohong itu, tapi Anda tetap akan dimintai pertanggungjawabann ya, karena Anda-lah yang telah menyebarluaskan berita sejak awal tanpa berpikir panjang siapa yang akan menerima berita tersebut.
Masalah kedua : bisa jadi diantara 1000 orang itu ada yang tidak menerima berita klarifikasinya. Jadi bagi mereka, berita yang dipandang shahih adalah berita yang pertama. Sebab, mereka tidak pakai Outlook atau aplikasi semacamnya. Mereka baca berita miring soal Ust. Tifatul kebetulan ketika sedang online. Ketika klarifikasinya datang, kebetulan mereka sedang tidak online. Kemungkinannya lebih besar lagi kalau Anda posting berita itu di blog. Yang membaca posting pertama bisa jadi tidak membaca posting kedua. Akhirnya mereka pun terus menyebarluaskan berita yang sebenarnya sudah diralat itu. There’s nothing you can do about it! Itulah konsekuensi mengikuti milis dan menulis di blog. Yang menakutkannya, kemungkinan besar Anda masih akan dituntut pertanggungjawabann ya kelak.
Siapakah Pendusta Itu ?
Peradaban Islam memiliki perangkat yang lengkap dalam menyikapi informasi. Umat ini semestinya adalah yang paling siap dalam menghadapi era globalisasi, begitulah teorinya. Mulai dari prinsipukhuwwah, mekanisme husnuzhzha n dan tabayyun, larangan untuk mengatakan apa-apa yang tidak kita paham betul, dan masih banyak lagi prinsip lainnya yang seharusnya memberikan kita kekebalan lebih baik dalam menyikapi fenomena bebas beredarnya informasi di masa kini.
Barangkali ada baiknya jika saya menutup uraian ini dengan sebuah hadits shahih yang nampaknya sangat relevan untuk kita jadikan cermin saat ini :
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Cukuplah bagi orang itu disebut pendusta apabila dia membicarakan setiap (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim)
wassalaamu’alaikum wr. wb
Tulisan Jadul Tak Berjudul
Penanti menanti yang dinanti di Penantian ini
Penunggu menunggu yang di tunggu di penungguan itu
Pencari mencari yang dicarai di pencarian kini
Penantian, Penungguan, Pencarian, usai sudah
Karena yang dinanti, yang ditunggu, yang dicari,
telah datang, hadir, dan didapatkan
Sang Penanti, Sang Penunggu, dan sang Pencari kini bahagia
Menanti, menunggu, dan mencari sudah tiada lagi
Sang Penanti, Menanti, yang dinanti, penantian, hanyalah semu
Penunggu, menunggu, yang ditunggu, penungguan, adalah palsu
Pencari, mencari, yang dicari, pencarian semuanya abstrak
Pertemuan Pertama
Hari itu, untuk pertamanya aku menginjakkan kaki di tanah gunung itu. Ditempat baru yang harus aku tinggali Dua bulan lamanya. Tidak ada seorangpun yang aku kenal. Selain Bang Malik dan tiga orang temanku yang waktu itu masih belum aku tau namanya. Semakin sedih terasa, jauh dari komunitas biasanya. Dua Bulan. Adalah waktu yang lama kami rasakan. Aku cemas menunggu kedatangan hari yang terakhir itu. Aku berpikir, apakah aku akan siap menghadapi hari-hariku selama 60 hari di tempat itu ? Tempat yang jauh dari keramaian. Yang jauh dari bising kota. Yang jauh dari pasilitas perkotaan. Yang jauh dari teman-teman yang aku kenal. Sekali lagi, pasrah. Hanya itu yang bisa dirasakan waktu itu.
“Kita Sudah sampai. Inilah rumah Kepala Desa. Rumah yang akan kalian tempati selama berKKN” Kata Bapak pengemudi yang belakangan aku tau namanya Pak Ukkas, sambil menunjuk sebuah rumah persis dimana tempat kami berhenti.
Rumah panggung. Sederhana dan mungil, bersih dan tertata rapi. Dihalamannya terdapat aneka bunga segar dengan bermacam warna. Sepetak tempat penampungan air yang terbuat dari keramik. Dan sebuah makam yang dari ukurannya adalah makam anak bayi yang terpagari rapi.
Di depan pintu seorang wanita setengah baya tersenyum ramah ke arah kami. Ada tatapan bahagia dimatanya. Ada sentuhan kebaikan dibalik senyumnya. Ada sentuhan kasih sayang di sapaannya. Ada uluran tangan keiklasan menerima kedatangan kami. Dia adalah Ibu desaku. Ya. Isteri Kepala desa Umpungeng. Yang mungkin akan menjadi ibu kami selama dua bulan kedepan. Yang rumahnya akan menjadi rumah kami juga.
Aku dan teman-temanku yang lain menurukan barang masing-masing dari mobil. Satu persatu tas-tas yang berisi perlengkapan selama dua bulan itu diturunkan. Ketika aku menurunkan tas yang terakhir, aku merasa kewalahan. Pasalnya, tas yang satu ini ukurannya berbeda dengan yang lainnya. Apalagi beratnya. Pasti juga jauh lebih berat dari tas-tas yang lain. Tas yang tidak normal, pikirku. Aku meminta bantuan temanku yang lain. Wah, ternyata masih kewalahan juga. Hingga Bang Malik turun tangan mengatasinya (Bang Malik jadi Hero). Kami Mengangkatnya bertiga. Tapi beratnya masih juga tersa. Terlebih ketika kami membawanya naik menaiki tangga rumah.
“Kayaknya di dalamnya ini ada kulkas atau mesin cuci, atau televisi, atau dapur, atau pembantunya sekalian dibawa” Cetusku. Mencoba menguasai suasana.
Yang lain serentak tertawa setelah mendengar guyonan kecil dariku. Apalagi si peilik tas. Ikut tertawa mendengar tuduhan yang dilontarkan padanya.
“Bisanya itu. Cuma pakaian dan perlengkapan wanita isinya. Gak ada yang lain” jawabnya membantah tebakanku sambil tertawa kecil.
Dalam hatiku “Dasar cewek. Gak pernah mau kekurangan apalagi ditinggalkan sama perkakasnya”
Huh, sedikit capek. Lumayan membuat napas ngos-ngosan. Kami dipersilahkan duduk di kursi ruang tamu. Suasana hening sejenak. Yang terdengar hanya suara napas yang berhembus kencang. Namun suasan itu segera saja mencair, ketika Ibu desa mengeluarkan minuman pelepas dahaga untuk kami.
Tidak tau dari mana awal mulanya, suasana antara kami semakin akrab terasa. Semakin banyak topik pembicaraan yang kami perbincangkan. Walaupun aku, masih belum tau nama persis tiga temanku yang lain. Aku tidak mencoba menanyakannya lagi. Tapi aku membiasakan diri mendengar dan menghapal nama mereka ketika satu persatu dari mereka mengenalkan diri pada penghuni rumah itu.
Denny Saskin (Biasa saya dipelesetkan Denny miskin) yang selanjutnya akan berperan sebagai Koordinator Desa. Evianti yang aku panggil dengan sebutan dua huruf saja, EV yang akan berperan sebagai Bendahara Desa. Dan Yemima yang kemudian akrab aku panggil dengan nama MIM yang selama berKKN akan bertugas sebagai sekretaris Desa. Aku dan Bang Malik ? Ah, kami sepakat memilih untuk tidak mengambil peran kecuali sebagai anggota saja. Dengan alasan-alasannya tersendiri.
Kamipun dipersilahkan masuk ke dalam kamar masing-masing. Kami tiga orang laki-laki mendapatkan kamar depan, yang berdekatan dengan ruang tamu. Sedangkan dua teman cewek mendapatkan kamar dibagian belakang, yang berbatasan langsung dengan dapur. Bukan Cuma mereka berdua. Ternyata ada seorang perempuan pemilik kamar bersama mereka juga. Perempuan itu adalah sepupu Bapak Desa yang sudah tinggal lama disana. Matahari nama lengkapnya. K’ Ita, itulah panggilan akrab kami memanggilnya.
Pekerjaan yang aku lakukan untuk pertama kalinya adalah mendeteksi keberadaan Sinyal. Terutama di dalam kamarku. Karena sejak dipertengahan jalan, sinyal sudah pergi meninggalkan HP kami. Benar saja yang dibilang isterinya Pak Ukkas. Di Jolle tidak ada sinyal kecuali dengan memakai antena. Hanya orang-orang beruntung saja yang mendapatkan sinyal tanpa menggunakan antena. Itupun keberuntungannya tidak akan berlangsung lama. Karena sinyalnya datang dan pergi sesuka hati. Sementara antena satu-satunya di rumah pak desaku hanya berada di kamarnya teman-teman cewek. Inilah ketidak beruntungan pertama yang kami daptkan.
Aku mondar mandir di dalam kamar mendeteksi sinyal dengan HP. Dari satu sudut ke sudut yang lainnya. Bahkan aku mencoba mencari jaringan di kolong ranjang. Alfa. Tidak ada yang terdeteksi. Aku juga mencobanya di belakang pintu. Sia-sia. Tidak ada hasil. Akupun mencobanya di balik lemari. Hasilnya tetap sama. Sinyal sudah tidak tidak lagi bersahabat denga HPku. Kalau bahasa pernikahannya, talak tiga. Oh tuhan, apa salahku dan salah ibuku (kayak Wali) hingga tidak ada kutemukan sinyal walau sebatangpun, atau hanya setengah batang saja.
Tidak ada harapan. Degaga harapang. Sinyal tidak juga aku temukan. Serasa sedikit kehidupan telah hilang dariku. Karena tidak ada bagian nyawa yang tersisa disana. HP yang tidak bersinyal.
“Susah menjadi orang kaya di desa ini. Tidak bisa bergaya” Gumamku sambil masih berusaha mencari jaringan. Ampun ma’ ! kata itu lagi yang terlontar dariku untuk mengungkapkan keputus asaan.
Satu titik dalam kamar itu yang belum aku datangi. Di Jendelanya. Ya. Jendela Naco yang letaknya persis disamping ranjangku. Aku mensetting pengaturan Hpku di posisi mencari jaringan secara manual. “Mencari jaringan” Begitu tulisan di Hpku setelah itu. Aku letakkan Hpku diantara kaca jendela, sambil menjaganya. Karena salah sedikit, HP bisa jatuh terlempar keluar. Dan nasibnya setelah itu tidak tau akan bagaimana.
Dengan harap-harap cemas, aku menunggu laporan hasil dari pencarian jaringan di Hpku. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, 3 operator ditemukan. Indosat, Xlindo, dan tentunya Telkomel.
“Alhamdulillah.....Horee.........Asyik.........dsb. aku mendapatkan sinyal”. Semua ungkapan kegirangan terlontar dari mulutku.
Walaupun yang aku dapatkan hanya satu batang sinyal. Tapi kadang-kadang naik menjadi dua, bahkan tiga. Tapi tidak pernah full menjadi empat batang. Bagian nyawaku yang hilang kembali lagi. Karena setelah sinyal aku temukan, sms beruntun masuk berlomba memasuki Hpku, menambah kotak masuk.
Aku adalah orang pertama yang menemukan sinyal di jendela itu. Walaupun tidak sehebat Einsten dan ilmuan yang lainnya, tapi aku merasa bahagia sebagai penemu tempat sinyal pertama di kamar itu. Karena setidaknya, dua temanku yang lain bisa menikmati hasil penemuanku. Yang bagiku sangat berarti keberadaannya, begitu juga temanku yang lain.
Serial KKN : Catatan Perjalanan ke Lokasi
Mulanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang Indah. Tempat itu bahkan bagiku tidak layak untuk aku tinggali. Mengarungi gunung, melewati hutan belantara melalui jalan meliuk-liuk ditambah beberapa kubangan dengan berbagai ukuran di atasnya. Sepi. Sunyi. Kosong. Hampa. Seperti tiada kehidupan. Dingin. Suhunya mendekap tubuh.Yang terdengar hanyalah suara-suara binatang mengerik di pucuk balik dahan pepohonan. Diiringi dengan suara gesekan pepohonan yang berhimpitan ditiup angin.
Disela-sela itu, terdengar suara Mobil Carry meraung kepayahan. Seperti tua yang terbatuk-batuk karena umurnya. Asap putih mengepul dimuntahkan dari arah belakang mobil. Memaksakan untuk bisa mengalahkan medan yang sedang dijalani. Medan yang sulit dan berat untuk sebuah carry tua. Tapi dengan santai dan sigap sang pengemudi menginjak gas melaju tanpa khawatir.
Di dalam mobil itulah aku dan 4 orang temanku yang lain, sedang was-was menahan napas. Entah apa yang aku pikirkan. Yang jelas waktu itu aku merasa seperti tawanan perang yang akan diasingkan ke tempat terasing dan terpencil. Bahkan perasaan ekstrimku merasakan bahwa aku dan teman-temanku yang lain seakan dibawa untuk dieksekusi mati. Pikirku, takdirku kini berada antara hidup dan mati.
Semakin jauh perjalanan yang kami tempuh. Semakin tinggi gunung yang kami susuri. Semakin sunyi hutan yang kami lewati. Semakin bersahabat dingin mendekap tubuh kami. Pasrah. Hanya itu ungkapan yang aku bisa terlontar saat itu.
Ada aku dan Empat temanku yang lain. Tiga diantara mereka, adalah asing bagiku. Bahkan nama mereka tidak aku ingat lagi setelah mereka menyebutkannya beberapa saat sebelumnya. Sedangkan satu lainnya, aku sudah kenal sebelumnya. Sangat kenal bahkan. Malik namanya. Usianya memang agak jauh lebih tua dariku (Ups, ada perjanjian dilarang sebut umur). Makanya aku memanggilnya Bang. Bang Malik.
Aku dan Bang Malik duduk di kursi bagian paling belakang. Saling memandang dengan senyuman sinis, berbisik bisikan menyerah. Dan tiga teman asingku duduk di kursi bagian tengah. Satu diantara mereka adalah laki-laki, dan dua diantaranya adalah perempuan. Dan yang duduk di bangku paling depan adalah seorang laki-laki yang kuperkirakan umurnya sudah 40-an ke atas, sebagai pengemudi. Dan disebelahnya adalah isteri dan anak perempuannya yang masih anak-anak.
Melaju pelan tapi pasti. Carry Hijau tua itu membawa kami. Suara obrolan mencoba menjalin keakraban terdengar dari para penumpangnya. Sedangkan aku dan Bang Malik, masih dalam suasanaku sebelumnya. Tapi kami berdua mendengar jelas pembicaraan mereka. Sesekali aku dan Bang Malik menimpali. Bahkan sesekali aku mengeluarkan lelucon yang mungkin Cuma lucu untuk diriku sendiri.
“Wah, kalau rumah mertuakau disini, mungkin aku Cuma akan mendatanginya satu kali setahun saja. Atau bahkan tidak datang-datang menjenguknya” Selaku ditengah obrolan-obrolan mereka.
Dengan segera Bang Malik mencubit ringan pahaku. Mungkin dia takut kalau ada yang tersinggung. Maklum, saya orangnya ceplas-ceplos. Tapi tidak ada perubahan suasana yang berarti dari kata-kataku itu. Seperti angin berlalu. Semakin lama obrolan semakin hangat. Keakraban di atas mobil mulai terasa. Seiring dengan semakin jauhnya jarak yang kami lalui.
Carry Hijau itu terus melaju dengan tenaga tuanya yang tersisa. Suara baut dan besi longgarnya sesekali terdengar saat rodanya terperangkap kubangan jalan. Ribut berisik. Perutku pun terasa di kocok dibuatnya. Dada terasa sesak. Keluhan aduh sepontan keluar dari mulutku. Ampun ma’ !
Handphoneku berbunyi dengan suara khas nada smsnya. “Ooooo.......Rahim...... Angkatseng sms ta’ kodong ! Ngarro Q anak-anak kodongE. Oooooooo.........Rahim........Angkatseng sms ta’ kodongE. Tena tong apa-apa. Ooooo..........Rahim........KodongE.......”
Ah, ternyata sms dari temanku yang di Makassar menanyakan keberadaanku. Aku jawab saja seadanya dan berharap ada balasan lagi darinya. Tapi Handphoneku tidak lagi berdering dalam waktu yang lama. Hingga aku mengeceknya kembali.
“Haaaaaaaaaa..................Tidakkkkkkkkkkk..............” Teriakku seketika.
Tentu saja teman-temanku langsung bertanya padaku
“Sinyal..... Sinyal.....Sinyal....Habis. Tidak ada yang tersisa walau sebatang”
Serentak mereka melihat Handphonenya masing-masing. Hal yang sama terjadi pada Handphone mereka. Tapi Seorang temanku mengangkat Hpnya seraya berkata girang “Aku dapat sinyal. Masih ada. Tapi tinggal satu bat.....”
Belum selesai ia berkata, menyelesaikan kalimatnya, muncul kaliat baru. Kali ini nadanya agak lirih “Aihhhh, hilang juga kasihan”
Ternyata apa yang dibilang Ibu yang duduk di depan terbukti. Kalau tempat yang kami tuju, tidak ada sinyalnya. Bahkan Ibu itu telah memberikan warning sebelumnya, sejak kami masih di daerah perkotaan.
Semakin jauh Mobil melaju. Hingga kini ia berhenti sempurna di depan sebuah rumah. Rumah yang selanjutnya akan menjadi Posko KKN kami selama dua bulan. Dusun Jolle, Desa Umpungeng, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.
Sekali lagi, pada awalnya tidak ada yang istimewa. Tidak ada keindahan. Yang ada hanyalah keterpasungan dan keterasingan. Hanya ada sepi dan gelap. Hanya ada dingin dan angin. Hanya ada pasrah dan menyerah.
Tapi disinilah awal cerita itu. Cerita yang tidak akan habis kata-katanya tentang keindahan, keistimewaan, kebebasan, keleluasaan, kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, kebahagiaan, dan Cinta.
Cerita di Atas PeTe-PeTe
Rabu malam selepas maghrib ketika aku berada di atas angkot menuju pengajian. Aku duduk di kursi paling belakang. Sibuk memencet tombol HP, membalas sms. Penumpang yang lain juga sibuk dengan urusannya masing-masing. Penumpang di depanku, seoarang wanita setengah baya berpangku tangan dengan pandangan kebelakang, melihat kendaraan yang sesak berkejaran. Disebelah kanannya, seorang gadis yang sedang asyik berbicara melalui telepon. Entah dengan siapa ia bicara. Yang jelas dari mulut dengan bibir merahnya terdengar tawa yang membuatku sedikit tidak nyaman.Disebelahnya lagi, seorang laki-laki yang umurnya tidak jauh dari gadis tadi. Dan sepertinya, mereka berdua saling kenal. Karena gadis itu tidak pernah melepaskan genggamannya dari lengan lelaki itu sejak aku naik. Dan disebelahku, seorang pemuda yang ku prediksi masih SMA. Dan persis di dekat pintu mobil, lelaki gondrong kriting rapi dengan celana jeans dan kemejanya. Yang selalu menggoyang-goyangkan kakinya mengikuti irama lagu ST12. PUSPA judulnya. Dan seorang lelaki tua duduk persis di dekat Sopir, dengan rokok dan sembulan asapnya.
“Kiri pak !”
Suara itu tiba-tiba membuat Mobil yang aku tumpangi berlahan melaju pelan, dan akhirnya berhenti. Ternyata Bapak tua yang duduk di depan samping sopir itu yang hendak turun. Persis di depan M-Tos (Makassar Town Square). Setelah memberikan ongkosnya, Bapak tua itupun berlalu menuju M-Tos tanpa peduli semua yang ada di belakangnya. Mobil kemudia melanjutkan perjalannan. Kini Lelaki Gondrong menggantikan posisi duduknya Bapak Tua.
Suasana kali ini berbeda karena dua penumpang baru mengisi bagian kursi yang masih kosong. Dan Si Gondrong dengan sopir juga terlihat akrab. Samar-samar aku mendengar mereka berbincang-bincang masalah kota Makassar dan beberapa aktivitas mereka.
“Apaji PKS, Gayana ji berselogan Bersih. Tapi kenyataannya, gak pernah mau mendukung calon yang bersih-bersih. Pemilihan Gubernur kemarin, ada calon seorang ustadz, eh malah mereka dukung yang bukan ustads. Padahal sudah jelas-jelas keshalihannya. Pemilu presiden sekarang, mereka dukung calon yang tidak ada nuansa-nuansa agamanya. Isteri yang mereka dukung saja tidak ada yang pakai jilbab” kata sopir tiba-tiba.
Aku tidak tau pasti alur pembicaraan mereka sehingga keluar pernyataan seperti itu dari sopir. Yang jelas aku menjadi tertarik mengikuti perbincangan mereka. Aktifitas sms aku hentikan dan mendengarkan perbincangan sopir dan si Gondrong Kriting lebih seksama. Sementara penumpang yang lain, masih sibuk dengan urusan masing-masing tanpa memperdulikan siapapun.
“Saya sebenarnya mendukung sekali PKS dari dulu. Tapi karena kelakuan mereka seperti itulah, makanya sekarang saya menjadi jengkel” sahut Gondrong Kriting
“Dan puncak kejengkelanku itu hingga pemilu kemarin saya tidak memilihnya adalah ketika mereka melakukan MUKERNAS di Bali, yang jelas-jelas disana tempatnya orang bermaksiat” Gondrong keriting menyambung perkataannya.
“Kalau begini caranya, bagaimana bisa menjadi bersih ? Jangan sampai Cuma selogannya ji bersih. Tapi kenyataannya ? Ya, seperti inilah jadinya. Katanya partai Islam” Sambung Sopir
Sopir melanjutkan “Saya pernah tanya ustadsnya PKS tentang keputusan-keputusan PKS yang demikian itu. Tapi mereka Cuma bilang, Mugkin ada pertimbangan lain. Cuma itu jawaban yang kudaptkan. Pertimbangan apalagi yang mesti dipertimbangkan. Gak jelas alasannya”
“Kalau begini terus, apaq gunanya pengajian yang mereka lakukan setiap hari jumat ?” Ujar Gondrong menimpali”
Aku hanya tersenyum mendengar perbincangan mereka. Sampai akhirnya aku turun di tempat tujuan. Karena kebetulan saat itu aku pakai jaket PKS, ketika aku membayar ongkos mobil, si Gondrong Kriting dan Sopir menjadi salah tingkah. Suara mereka menjadi terbata-bata tak beraturan. Tapi aku hanya menganggukkan kepala kepada mereka berdua, sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih, dan berlalu tanpa berkomentar apapun.
Tidak tau mengapa perbincangan tadi mengisi pikiranku sepanjang jalan kaki menuju rumah ustadsku. Mungkin mereka ada benarnya. Tapi pembenaran mereka disebabkan karena kekurangan kita sebagai kader dalam mengkomunikasikan semua kebijakan yang diambil. Sehingga apa yang mereka lihat, mereka dengar, dan mereka rasakan baik dari media atau lapangan, itu adalah sebuah kebenaran.
Karena masyarakat pasti hanya akan melihat berita dan bukan melihat proses. Apalagi tujuan-tujuan dari kebijakan-kebijakan yang diambil. Benarlah yang dikatakan Hitler bahwa, kebohongan yang disampaikan secara terus-menerus akan menjadi sebuah kebenaran.
Sehingga seorang teman mengatakan, bahwa PKS telah gagal dalam menjelaskan dirinya dan keputusan-keputusannya melalui media. Untuk itu, tugas kaderkader PKS sekarang adalah menyampaikan kebenaran atas keputusan dan kebijakan yang diambil. Supaya masyarakat tidak salah persepsi terhadap PKS. Sehingga mereka menjauh bahkan memusuhi PKS.
Perlu sosialisasi yang lebih masif lagi, baik melalui media maupun dari kader-kader untuk menyampaikan kebenaran itu kapada masyarakat. Bahwa ada tujuan-tujuan dakwah di setiap kebijakan yang diambil. Supaya masyarakat menjadi tau yang sebenarnya. Bahwa dakwah ini dibangun di atas landasan kebersihan. Terang dan jelas, sejelas Matahari. Putih, seputih Cahaya. Tidak ada yang disembunyikan. Tidak ada yang dikurangi dan dilebihkan.
“Masyarakat butuh penjelasan”