Sy sengaja melanjutkan judul di atas dengan rentetan tanda titik. Karena ketika aku menuliskan tulisan ini, aku bingung. Tidak ada kata tepat aku temukan, untuk mengisi titik-titik itu yang bisa menggambarkan isi tulisan ini. Untuk itu, saya berikan kebebasan kepada para pembaca untuk mengisinya sendiri sesuai dengan persepsi masing-masing.
Any way, Yang akan aku ceritakan disini bukanlah perjalanan hidupku secara utuh. Atau kisah romantisme suka duka kehidupan. Bukan. Tapi yang akan aku ceritakan adalah satu bagian dari pengalaman hidupku yang aku dapatkan dari bapakku. Karena memang antara aku dan bapakku tidak ada yang membedakan antara bapak dan anak. Kerena kami sudah seperti taman. Teman yang akrab sekali. Bahkan sekali-kali antara aku dan bapakku sering panggil nama dengan kata ganti Choy, Cess, Boss, Bro, mungkin juga Cappo’ kalau kami orang makassar, dan sebagainya. Akrab toh ?
Sebenarnya, bapakku adalah sosok pribadi yang tegas, disiplin, teliti, dan otoriter. Mungkin lebih tegas lagi dari sekedar perintah atasan kepada bawahan di dunia militer. Tapi di lain sisi, Bapakku adalah sosok yang demokratis. Anaknya selalu diberikan kebebasan untuk melakukan dan mengerjakan apapun, selama yang dilakukan itu baik. Bahkan beliau memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk melakukan kebaikan yang sesungguhnya untuk ukuran anak-anak belum sanggup untuk mengamalkannya.
Bermula sejak saya duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh bapakku yang sebenarnya tidak lazim untuk ditanyakan pada anak seusiaku.
“Nak, kau mau menikah ?”
Tweng, weng, weng............ Wuakhhahahaaaa.
Spontan aku tertawa terbahak. Diikuti dengan teman-teman sebayaku, ibu dan beberapa orang yang ada di sekitarku waktu itu.
Ternyata setelah aku selidiki, motif dibalik pertanyaan bapakku adalah karena ada sebuah obsesi. Ya, sebuah obsesi. Obsesi untuk menjadi kakek termuda di dunia. Katanya. Selain itu, bapakku juga berobsesi untuk membuat sejarah. Bahwa anaknyalah pemecah rekor kawin usia termuda di dunia.
Kalu waktu itu saya jadi menikah, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi. Yang pertama, mungkin saja saya atau bapakku akan mendapatkan piagam penghargaan pemecah rekor Muri bahkan dunia sekalipun. Dan yang kedua, bapakku akan terkena peraturan UU perlindungan anak. Tentang eksploitasi anak. Mungkin seperti Seikh Puji.
Berlanjut.......!!!
Ternyata, pertanyaan seperti itu, tidak cukup sampai disana. Ketika aku lulus SD, bapakku kembali menanyakan pertanyaan yang sama. Namun kali ini dengan memberikan pilihan yang lain.
“Nak, kau mau menikah atau melanjutkan ke SMP ?”
Ekspresi yang sama aku berikan untuk membalas pertanyaan bapakku. Karena mungkin aku masih menganggap pertanyaan itu sebagai bahan candaan biasa saja. Karena tidak ada bedanya diriku waktu kelas 3 SD, dengan diriku waktu lulus. Mungkin umur saja yang bertambah. Tapi predikatku sebagai anak-anak masih aku sandang. Sama seperti ketika bapakku menanyakannya 3 tahun sebelumnya. Jadi kuabaikan saja. Aku melanjutkan sekolahku ke tingkat SMP.
Pertanyaan bapakku kali ini juga ada motifnya. Ada juga alasan tersendirinya. Beliau “cemburu” dengan seorang teman bermainnya waktu kecil. Temannya itu baru saja memiliki menantu, sementara bapakku belum. Padahal, umur bapakku cuma terpaut 2 tahun lebih muda dari temannya itu.
Jangan ditiru ya ! He......He.....He.....
Tahukah anda ? Ternyata pertanyaan itu masih terus berlanjut. Ketika aku lulus SMP, bapakku kembali menanyakan pertanyaan itu. Tapi kali ini bukan tawaran, atau memberikan pilihan. Bahasanya kali ini lebih ke saran saja.
“Nak, kalau saya mah, sebaiknya kamu menikah saja.....................”
Untuk kali ini, tidak ada ekspresi tanda jawaban yang aku berikan kepada bapakku. Karena ibuku yang mendengar pernyataan bapakku itu langsung angkat bicara. Dengan nada suara yang lumayan tinggi. Sampai bapakku sedikit terkejut mendengarkan.
“Ah, sembarangan bapak ini. Mau jadi apa anak kita kalau menikah seumur begini. Mau kasih makan apa anaknya orang. Emangnya bisa kasih makan batu anaknya orang ? dan bla.............bla.............bla..........”. lumayan panjang petuah keras ibuku.
Eh, jangan salah persepsi dulu tentang ibuku yang keras begitu. Ibuku orangnya baik lho ! bahkan ada seorang teman pernah mengira bahwa ibuku orang Jawa karena cara bicaranya yang halus sekali. He.....He....He.... I luv U mom.
Lanjut !!!
Mendengar petuah ibuku, bapakku menjawab sekedarnya.
“Tenang Nak, bapak kan punya dua motor. Kalau kau menikah, ambil itu motor satu. Kalau takut tidak bisa memberi makan istrimu, manfaatkan motor itu. Salah satunya kan bisa dipakai ngojek”
Tweng, weng, weng............ Wuakhhahahaaaa.
Aku tertawa lagi hari itu. Seandainya ini dicerita Naruto, pasti ekspresi wajahku saat itu ditampilkan dengan bentuk kepala besar, mata bloh keluar, mulut besar, dengan cahaya mengitari bagian kepala, dan sedikit keluar cairan dari dalam hidung.
Dan seandainya, aku menikah hari itu, pasti hari ini aku sedang berada di pangkalan ojek teriak-teriak menawarkan jasa pengantaran kepada setiap orang yang lewat. Yah, paling banyak yang saya dapatkan sekali antar sekitar 2.000 lah. Kalau 10 kali antar 20.000. seandainya dalam 1 hari aku bisa mengantar 100 orang, pendapatanku sekitar 200.000. kalau begitu terus tiap hari, dalam sebulan sekitar 6.000.000 Bro !!! Lumayan juga. Melebihi gaji PNS. Cukup untuk kasih makan keluarga.
Itu kalau berpikir enaknya. Giliran gak ada penumpang, biar satupun setiap hari ? Belum lagi tambal Ban yang bocor kena paku. Teriak-teriak di tengah panas. Keringat ngalir deras, membasahi badan. Iiiiiiiihhhhhhhh......... Bau. Belum lagi keringat di dalam terowongan bawah bahu. Bikin ngumpul lalat sekampung. Kalau begini mah, gak ada penumpang yang bakalan mau diantar sama kita. Uupss, saya lupa kalau harga BBM juga naik.
Next..... !!!
Akupun melanjutkan studiku ke tingkat SMA. Nama SMA dan SMP ku sama. Sama-sama negeri 1 Praya Timur, Lombok Tengah, Mataram, NTB. Sekolah paling keren tingkat kecamatan. Karena memang saat itu sekolahku satu-satunya SMA yang ada di kecamatan itu. He...He...He...
Yah, saya cukup berbanggalah lulus disekolah yang aku cintai itu. Jaraknya pun hampir sama dari rumahku. Sekitar 4 km. Kalau ke sekolah, biasa naik ojek atau cidomo. Paling seneng kalau ada angkot lewat yang baru keluar dari kandang untuk narik. Gratis choy....... untuk anak sekolah. Lumayan, uang jajan bertambah seribu.
Lanjut........?
Setelah 3 tahun saya di SMA akhirnya aku resmi lulus dari sana. Tapi sebelumnya, kebetulan ada program JPPB yang dikirim oleh Universitas Hasanuddin, Makassar ke sekolahku. Dan alhamdulillah aku siswa satu-satunya yang diterima dari sekolahku. Karena yang ikut daftar dan berminat pada waktu itu memang cuma satu orang. He.........He...........He..........
Setelah aku mengabarkan kelulusanku ini kepada bapakku, bapakku tersenyum. Diikuti dengan ucapan hamdalah dari Ibuku tanda syukur.
Tanpa aku duga, pertanyaan itu kembali muncul dari mulut bapakku. Pertanyaan yang ditanyakan sejak 9 tahun sebelumnya. Tapi pertanyaannya kali ini, lebih pada penegasan.
“Nak, kau mau pilih mana, kuliah atau menikah ?”
Ekspresiku kali inipun beda. Aku hanya membalas dengan senyuman seadanya. Tidak ada reaksi yang berarti. Bukan lagi dengan tertawa seperti sebelumnya. Karena mungkin aku sudah mulai berpikir lebih dewasa. Dan pertanyaan seperti itu, memang sudah layak untuk ditanyakan pada anak seusiaku. Ibuku yang mendengarkanpun, tidak lagi memberikan petuah-petuah kerasnya. Kali ini ibuku lebih memilih untuk bersikap diplomatis.
“Nak, kalau kau menikah hari ini, pikirkan masa depanmu. Kalau menurut ibu, sebaiknya kau kuliah dulu. Kau sebenarnya layak untuk menikah setelah kau punya pekerjaan”
Kata-kata ibuku memang selalu menjadi penyejuk hati. Menjadi inspirasi dalam berbuat. Menjadi semangat dalam bertindak. Sekali lagi, I Luv U Mom.
Tapi lagi-lagi bapakku menimpali
“Nak, kalau menurut saya, kayaknya memang sebaiknya kau menikah saja. Biarlah biaya kuliahmu kau pakai untuk biaya perikahan dan isterimu nanti. Kan sama.”
Uuuuugggggggghhhhhhhhhhhh............... Sebel
Mendengar kata-kata itu, tensi ibuku kembali naik. Geram dan jengkel mendengar saran yang menurutnya sangat tidak baik. Dan saran yang tidak perlu didengarkan dan diikuti.
“Sudah nak ! jangan dengarkan bapakmu yang ‘melut, jogang, mandaq’ (sebutan orang lombok untuk menggambarkn orang yang dianggap stres, ngawur, dan gila). Kau harus tetap kuliah !”
Dan sampai hari ini, ternyata Allah lebih memilihku untuk menjadi Mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan................... BERSAMBUNG.
Tunggu Episode berikutnya di Diary 2, yang judulnya SERANGAN BALIK
Diary...................???
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar