Wajahnya bundar, putih bercahaya. Memberi panorama indah kemesraan para pecinta. Membentuk warna pelangi menghiasi pegunungan pinus. Cerah berseri, seperti langit yang baru saja menampakkan diri setelah ditutupi awan hitam. Basah, seperti mata air pegunungan yang menerobos pori-pori tanah. Menjalar melewati ruas-ruas akar pohon tegar.
Matanya bening, sayu bercahaya. Memancarkan tatapan menyejukkan. Tajam. Seperti anak panah yang siap dilepaskan dari busurnya. Menembus ketandusan hati. Membelah kesepian jiwa.Menerobos mengiringi aliran darah, mengalir menyusuri nadi.
Kulitnya putih bercahaya. Memberi warna terang pada pekat warna hitam. Halus bagaikan sutera. Lembut, selembut Angin gunung saat membelai sang dahaga. Bersih, sebersih embun zam-zam yang melekat di kelopak mawar.
Suaranya syahdu. Menghadirkan ketenteraman bagi yang mendengarnya. Pikiran jadi tergelayuti dibuatnya. Mengisi ruang-ruang hampa di setiap saraf otak. Menjadikan darah mendesir dengan kecepatan berlipat-lipat. Menjadikan jantung memompa darah lebih cepat untuk segera dialairkan ke semua pembuluhnya.
Senyumnya menawan. Siap menawan setiap mata yang memandang, dan terjebak dalam perangkapnya. Bagai secawan anggur bagi penikmatnya. Menjadikannya mabuk, tidak sadarkan diri. Seperti madu murni dari sari bunga edelweis. Seperti mawar yang bermekaran di musim semi.
Gerakannya gemulai. Melebihi indahnya riakan air Saraspati yang ditiup angin. Mendayu, seperti alunan seruling di subuh hari. Seperti petikan gitar para penyair.
Masih murni. Masih alami. Polos. Ia memancarkan pesona gadis desa. Tidak terkotori oleh debu zaman yang menakutkan. Menyatu dengan alam. Bersahabat dengan musim. Ia adalah bunga yang bermekaran di musim semi. Ia adalah hamparan padi berisi bagi para petani.
Sore itu ia sedang duduk bersama neneknya di teras rumahnya. Sejuknya cuaca gunung Umpungeng menambah kedamaian suasana. Warna putih pakaian yang membaluti tubuhnya, terlihat bersih. Aku pastikan, baru saja ia mengenakannya. Raut wajahnya nampak lembap merona. Meyakinkanku bahwa ia baru saja selesai mandi sore.
Aku mendekatinya. Berharap ada senyum dibibirnya untukku. Berharap keramahan menyapaku. Kuucapkan salam perjumpaan padanya diiringi senyum bujukan. Ia terperanjat, menyiskan warna memerah di pipinya. Pucat. Tapi tidak mengurangi rupa manis wajahnya. Mata beningnya terbelalak lebar. Memandangku lekat-lekat. Bagaimana tidak ? Karena aku adalah asing baginya. Hari itu, adalah pertama kali aku berjumpa dengannya.
Ia berlindung di balik neneknya. Berharap sang nenek akan menjadi pelindung baginya. Tangannya menjuntai-juntai meraih sang nenek. Seakan ia ingin meminta tolong untuk menghalauku. Aku semakin mendekat, dan semakin dekat di depannya. Ia semakin takut dan bersembunyi. Menjauhkan wajahnya dari pandanganku. Hanya suara jeritan lirih yang terdengar dari mulutnya.
Aku menyapa dengan menanyakan namanya. Pertanda aku ingin berkanalan dengannya. Tapi ia terdiam tidak menghiraukan sapaanku. Aku mencobanya untuk yang kedua kalinya. Tapi reaksi yang aku dapatkan sama. Sampai berulang kali aku mencobanya. Bahkan, neneknyapun ikut membantuku membujuknya supaya ia menyebutkan namanya. Tidak berhasil. Tiada daya yang bisa aku lakukan.
Neneknypun memberikan jawaban kepadaku, sebagai keterwakilan jawaban gadis desa itu.
‘Ony’. Itulah namanya. Aku tidak menanyakan nama lengkapnya dan tentangnya yang lain. Karena aku sibuk berusaha memberikan rayuan dan kata-kata manis supaya ia menerimakau. Nihil. Gak ada hasil.
Ony, Gadis desa berumur 1 tahun. Lucu, imuts, dan menggemaskan. Aku tertarik padanya saat aku melihatnya. Mungkin karena memang aku suka pada anak-anak batita (bawah 3 tahun). Apalagi yang imuts dan montok. Enak dicubit. Sekali-kali juga kalau aku ketemu dengan anak seperti itu, aku gigit pipi atau tangannya. Gemezzzzzzzzz.....!!!
Adikku saja, ketika ia masih kecil dulu, aku sering cubitin pipinya sampai merah. Ibuku yang melihat tingkahku itu, pasti marah-marah dan membentakku. Tapi kebiasaanku itu tidak bisa kuhentikan. Walaupun Ibu ngomel-ngomel memarahi. Kebiasaan ini pasti aku lakukan kalau bertemu sama anak kecil. Gak peduli ibunya mau bilang apa. Tapi itu aku lakukan pada saat pertemuan pertama saja. Setelah itu, dielus, disayang dengan cinta.
Kisahku dengan Ony, sampai aku membuat tulisan ini, belum akrab. Belum “mesra”. Ia masih takut digendong olehku. Kesel. Sepertinya aku harus melalukan usaha ekstra. Kerja keras untuk merebut hati Ony. Tapi aku tidak akan menyerah dan berhenti. Karena hatinya pasti bisa aku taklukkan suatu hari nanti.
Tunggu ya Ony..........!!!
Ony, Pesona Gadis Desa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
waduuuuuh...virus-virus KKN merajalela... mw sy lapor ini. whahahaha...8x
Posting Komentar