Dengan tekad yang mantap, akhirnya aku memilih kuliah sebagai jalan hidupku. Hari keberangkatanku ke Makassar pun tiba. Detik-detik terakhir yang mengharukan. Bikin banyak orang sedih dan menangis. Apalagi nenek-nenekku. Dan yang lebih parah sedihnya adalah ibuku. Maklum, saya kan anaknya pertama yang pergi merantau ke luar daerah.
Semua kebutuhan dan perlengkapan pun dikemas dalam kopor. Tidak ketinggalan beberapa bekal berupa makanan selama di kapal nanti. Dan oleh-oleh khas Lombok untuk orang Makassar (biji asam, renggi, peyek, tarek). Lucu toh nama2 nya ? kalau orang Makasar bilang, saat memakan oleh-oleh dariku, sama seperti memakan batu. Keras banget. Tapi bagi orang lombok, rasanya ma’ Nyus. Hehehe......... Lain lubuk lain ikannya. Mudah-mudahan pribahasanya benar untuk menggambarkan perbedaannya.
Perjalanan dari Lombok ke Makassar membutuhkan waktu 2 hari 3 malam. Tilong Kabila adalah satu-satunya kapal yang langsung ke Makassar. Hanya 2 kali sebulan singgah di pelabuhan Lembar Lombok.
Iring-iringan mobil keluar dari halaman rumahku. Layaknya iring-iringan pejabat Negara yang berkunjung ke suatu daerah. Hanya saja kurang Ford Rider dengan sirinenya yang mengaung. Kalau sj ada Ford Ridernya, pasti semua kendaraan yang dijalan pada minggir semua. Dan polisi-polisi hormat. Dikirain sy SBY atau JK. Semua keluarga yang berkesempatan, ikut mengantar saat itu. Ya, kalau dihitung-hitung cukup satu kampung lah.
Menurut jadwal, Pukul 16.00 kapal nyandar di pelabuhan. Jam 12.00 rombongan sudah berangkat. Sengaja dipercepat karena takut ketinggalan. Kan sayang kalau sampai ketinggalan. Lumayan, harga tiketnya. Tapi sebenarnya gak mahal-mahal amat sih. Cuma 180.000 rupiah saja. Perjalanan ke pelabuhan juga memerlukan waktu satu jam.
Kurang lebih 3 jam kami menunggu kapal di pelabuhan. Tapi untunglah, rombongan sudah menyiapkan bekal untuk menangkis lapar selama menunggu kapal. Biasa kalau orang kampung. Kemana-mana kalau mengantar orang yang mau keluar daerah, semua jenis bekal pasti sudah disiapkan. Dari makanan ringan sampai makanan terberat sekalipun. Bawa nasi satu bakul besar. Cukup untuk 30-an orang. Dengan beraneka lauk di dalamnya. Dari ayam goreng sampai daun singkong yang pahit. Nanti kalau lapar, baru dibuka dan makan bersama satu kampung di Pelabuhan.
Suara klakson Tilong Kabila menggema memantulkan suara dibalik gunung Pelabuhan Lembar. Memecah sunyi suasana damai hutan di sekitarnya. Burung-burung berterbangan. Seolah mendengar suara tembakan yang membidik mereka. Angin bertiup dengan damai menggoyangkan pepohonan yang tumbuh di dada gunung itu. Dari balik bukit Nampak moncong kapal itu. Membelah laut, menciptakan ombak-ombak kecil berserak. Para buruh pelabuhan terlihat berlomba berlarian menyambut kapal itu. Membuat guratan senyum di wajah mereka. Dengan harapan, kapal itu akan membaginya sedikit rizki untuknya dan keluarga hari ini.
Tapi bagiku, kedatangannya bagaikan keranda yang akan siap mengangkutku dan penumpang lainnya untuk dibawa ke tempat keterasingan. Memisahkan anak dengan orang tua. Mengambil keceriaan persahabatan. Merenggut kedamaian bersama handai taulan. Merampasku dari tanah kelahiran yang aku cintai.
Cieeeeeeee, agak berputis sedikit. Mudah-mudahan tidak katro dan okkots.
Tilong Kabila pun menyandar. Nah, tiba saatnya sesi nangis-nangisan. Bahkan diantara para pengantarku ada yang pingsan. Wah, sedih sekali pokoknya. Setelah salam-salaman dan cipika-cipiki, akhirnya aku dan penumpang yang lain memasuki Tilong Kabila. Isak dan raungan tangis semakin ramai terdengar. Kali ini bukan cuma raungan tangis pasukan keluargaku yang ku dengar. Keluarga penumpang yang lain juga melakukan hal yang sama. Menangis meraung. Wah, kayaknya bagus bikin ajang perlombaan nih.
Sebelum memasuki kapal aku menemui ibuku. Setelah sebelumnya aku menyalami Bapakku dan memeluknya. Ibuku orang terakhir di pelabuhan yang aku salami dan ku peluk. Aku melihat buliran-buliran bening keluar dari kelopak mata ibu. Seolah memberi isyarat kepadaku untuk tidak meninggalkannya. Dengan bibir bergetar, ibuku bersuara lirih.
“nak, jaga dirimu baik baik ya. Ingat, disana bukan kampungmu. Pandai-pandailah menjaga diri. Ibu akan selalu mencintai dan mendoakanmu.”
Ibu kemudian mencium keningku. Ciuman sayang bukti cinta dan keindahan yang mendalam dan kesetiaan yang teguh tanpa harus terurai dalam kata – kata. Ciuman yang disertai cinta sang ibu membuat diriku semakin tegar dan yakin akan cita-cita yang akan ku raih. Semua kemudahan dan kesuksesan terbayang di mata, tidak ada keraguan dan rasa takut. Ciuman dari sang ibu memberiku rasa nyaman dan kebahagiaan.
Aku berangkat sendiri ke Makassar. Tanpa ditemani siapapun. Masih ‘ongol-ongol’. Sebab, perjalanan ini adalah perjalanan pertamaku menyeberangi laut. Tilong Kabila semakin jauh dari Lombok. Menjauh dan terus menjauh meninggalkan riak-riak ombak. Membentuk arus putih, menciptakan buih-buih kecil. Meninggalkan bekas sesaat. Aku bersandar dipinggir Kapal sambil menikmati sunset sore. Merah menyala ditelan lautan. Menikmati headset di telinga, dengan lagu indah Raihan raihan mengemis kasih. Selamat tinggal Lombok !
Nah, disinilah awal ceritanya. Yang d iatas itu mah, Cuma pengantar.
Setelah melalui perjalanan yang panjang. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di tanah Asing. Anging Mamiri. Aku diijemput oleh sepupuku yang kebetulan juga kuliah di Unhas angkatan 2003 waktu itu. Kami menaiki angkot menuju tempat tinggal sepupuku yang belakangan aku kenal tempatnya itu bernama Wesabbe.
Selama perjalanan, banyak kisah2 seru dan perasaan-perasan takjub yang aku alami. Tapi tidak mau ku ceritakan disini. Nanti banyak lagi yang bilang narsis padaku. Atau katro, atau wong deso. Makanya sebaiknya jangan. Untuk menghindri ‘fitnah’. Hehehe…….
3 bulan pertama di Makassar, hari-hariku diisi dengan tangis kesedihan di dalam kamar. Menyendiri. Rindu banget rasanya dengan Ibu dan Bapak. Terasa lama sekali hari berlalu. Serasa sudah 3 tahun. Ditambah lgi dengan masa ospek yang mengerikan. Lihat senior seperti melihat “Malaikat Izrail” yang siap mencabut nyawa. Gak ada manis-manisnya. Apalagi senyum. Trus setelah itu disuruh kenkreng, push up, atau dikerjai kayak badut pemain sirkus. Tapi setelah itu, ternyata mereka baik-baik semua.
Hari-hari itu berlalu sampai aku berhasil melewati tahun pertama di Makassar sebagai mahasiswa di Universitas hasanuddin. Pola pikirku juga tanpa tidak sadar sudah mulai berubah. Mungkin disebabkan karena aku sudah menuju kedewasaan kali ya ? ini bukan dalam rangka narsis ya ? jangan keburu Su’dzon.
Setelah aku mengenal beberapa orang. Aku mulai merasa sedikit nyaman. Kerinduan yang sangat terhadap kampung sdh mulai berkurang secara perlahan. Bergaul dengan orang-orang baik. Mengajarkanku tentang kebaikan, arti hidup, dan bekerja untuk hidup. Dan karena alasan merekalah sampai saat ini aku bisa menjadi seperti ini. Mmmmmmm.... Seperti apa ya saya ?
Dan secara perlahan juga, tidak tau dari mana datangnya rasa ingin melakukan seperti apa yang pernah bapakku tanyakan satu, tiga, enam, sembilan tahun sebelumnya (ada di tulisan diary sebelumnya). Kuat sekali. Mungkin disebabkan karena bisikan-bisikan halus teman-temanku. Atau mungkin karena tema seperti itu sangat asyik dan sering dibicarakan di kalangan teman-temanku ? Atau mungkin timbul karena terinspirasi banyak teman-temanku yang sudah melakukannya ? atau mungkin juga karena memang sudah saatnya ?
Libur panjang setelah setahun, aku pulang kampung. Wah, enak banget jadi anak perantau saat pulang kampung. Seperti jadi raja men ! Kalau biasanya di kost Makassar Cuma makan Mie, atau paling banter nasi telur, dikampung makanannya tinggal disebut apa yg kita ingini. Kalau kelas Ayam Goreng mah, gak elite. Ih, sombong sekali ya ?
Biasa kalau sama-sama makan dengan Bapak dengan menu yang enak-enak dan ma’ nyus, bapak sering buat lelucon. Maklum, kan bapakku humoris orangnya. Juara Pelawak tingkat Provinsi githu lho. Beliau bilang,
“Nak, beginilah makanan kita selama ini kasihan (kodong kalau bahasa Makassar). Sederhana. Inipun kita makan karena terpaksa. Gak ada menu pilihan yang lain”
Sampai-sampai aku terbatuk-batuk saat makan karena tertawa. Yang lain juga begitu.
Biasanya kalau bapakku bicara, pasti ibuku menimpali.
“Ih, ini bapak sombong sekali. Bilang Alhamdulillah kek, kalau ada rizki begini !”
Tapi waktu itu, aku belum menyampaikan keinginanku kepada orang tuaku. Kayaknya masih sensistif. Setelah kepulangan keduaku pada tahun kedua, keinginan itu semakin kuat. Akupun menyampaikan keinginanku itu pada orang tuaku.
Tapi apa yang terjadi........................ ???????
Ternyata tidak seperti yang kuharapkan. Aku pikir, sikap bapakku satu,tiga, enem, sembilan tahun yang lalu sama. Ternyata tidak. Berbalik 180 derajat.
“Nak, selesaikan dulu lah kuliahmu. Setelah itu cari kerja. Biar kamu bisa hidup mandiri. Baru boleh menikah”
Tidaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkk. Bagaikan petir disiang hari. Bagaikan layang putus dari benangnya. Bagaikan langit terputus awan. Eh, kok jadi nyanyian.
Pupuslah harapan. Kalu orang Makassar bilang degaga/te na Harapan
Aku sempat menanyakan alasan mengapa bapakku bilang begitu. Ternyata alasannya singkat. Karena Bapakku dulu menikah setelah punya gaji jadi PNS, dan tidak ada biaya nikah dari orang tua. Ternyata beliau menginginkan aku sepertinya dulu saat menikah.
Akupun kembali ke Makassar untuk melanjutkan studiku. Melupakan keinginan-keinginanku itu. Aku harus cepat selesai dan kerja. Karena begitulah keinginan orang tuaku. Dan itulah cara satu-satunya untuk melaksanakan keinginanku itu. Supaya orang tuaku juga memberikanku izin.
Sengkat cerita..... (kayak pembaca dongeng saja)
Pada liburan tahun ketiga, aku pulang kampung untuk PKL/Magang. Pada saat itu, aku diterima magang disebuah perusahaan surat kabar harian terbesar di NTB, Lombok Post. Tidak ada niat sama sekali untuk meminta lagi keinginanku seperti tahun-tahun sebelumnya. Karaena aku yakin akan mendapatkan jawaban yang sama.
Dua minggu aku disana. Pulang pergi dari rumah ke tampat Magang. Lumayan, jaraknya cukup jauh. Membutuhkan waktu satu jam. Dan biasanya aku pulang dan sampai rumah, menjelang petang.
Pada suatu hari ketika aku tiba di rumah, dan bersih-bersih, aku pergi ke dapur untuk makan malam. Karena biasa jam segitu, ibuku sudah menyiapkanku makanan di meja makan. Dan malam itu, aku adalah orang terakhir yang belum makan malam. Sementara ibuku menonton TV dan bapakku asyik menelpon.
Ketika baru aku habiskan setengah piring nasi, tiba-tiba bapak menghampiriku dengan wajah yang sepertinya akan mengabarkan sesuatu. Beliau duduk disampingku sambil memperhatikan aku makan. Aku terus melanjutkan makanku setelah memberikan senyuman pada bapakku. Setelah itu, bapakku menepuk pundakku sambil berkata,
“Nak, kamu serius mau menikah ?”
Aku tidak menjawabnya langsung, karena aku masih mengunyah nasi yang baru saja aku suap. Bapakku mengulangi pertanyaannya,
“Nak, kamu serius tidak, mau menikah ?”
Aku langsung menjawab sambil tersenyum tipis
“ya, Iyalah. Kan dari dulu aku minta” jawabku iseng.
“Begini, tadi tantemu nelpon (kakak ipar bapak, suaminya sudah meninggal). Beliau menanyakan kabarmu. Dan menanyakan, apakah kamu sudah siap menikah atau belum.”
“terus ?”
“Katanya, anaknya (sepupuku. Umurnya terpaut lebih tua dariku) sudah mau selesai kuliah. Dan rencana langsung mau dinikahkan.”
“terus apa hubungannya denganku ?”
“Ya, kalau kamu serius mau menikah, menikah saja dengannya. Bapak setuju sekali. Tantemu juga begitu. Pekan depan dia pulang dari jakarta. Kalau kamu setuju, pekan depan kamu langsung diakad. Dan kehidupanmu Bapak tanggung sampai kamu punya kerja”
Sssseeeeeeeeeeeeerrrrrrrrrrrr....................
Darahku serasa mendidih. Ada yang menyetrum tubuhku dari ujung kaki ke ujung kepala. Sama rasanya seperti ketika bapakku menyuruhku menikah 9 tahun yang lalu. Ah, tidak. Kali ini lebih dahsyat. Dahsyat sekali. Aku langsung menghentikan makananku dan terdiam sejenak, mencerna dan mengolah kata-kata bapakku. Dan kali ini aku melihat keseriausan di wajahnya. Tidak ada tanda-tanda lelucon seperti biasanya.
Belum sempat aku bicara, ibuku menimpali. Ternyata beliau sudah mengetahui rencana bapakku,
“ibu juga sepakat nak dengan bapakmu. Kamu menikah saja dengannya. Sebagai penyambung silaturrahim”
Pamanku yang mendengarkan pembicaraan kami juga langsung berteriak.
“Setuju Nak. Bilang Ya. Jangan ditolak lagi. Ditanggung tidak rugi kalau kau menikah dengannya. Saatnya kita pesta besar”
Belum sempat aku mengeluarkan peluru satupun, aku sudah ditembak peluru bertubi-tubi dari tiga lawan. Aku tidak berkutik. Adikku datang menghampiri ingin tau apa yang terjadi. Setelah itu, iapun langsung memelukku kegirangan menyatakan kesetujuannya dengan rencana itu.
Aku mematung. Terpaku. Aku menarik napas, dan mencoba menenangkan suasana diri.
“Sebentar aku pikirkan dulu” jawabku singkat.
Memaang aku tidak pernah bertemu dengan sepupuku itu. Kecuali hanya sekali saja, itupun waktu kami masih kecil-kecil dulu. Aku sudah tidak ingat rupanya. Maklum, karena dia bersama paman dan tanteku tinggal di pulau yang berbeda.
Aku meninggalkan meja makan. Mencari jawaban di antara hembusan angin malam. Menanyakan pada suara jangkrik yang menggering. Menanyakan pada dahan kayu yang bergesekan. Bercerita pada burung malam yang baru saja pulang dari bertualangnya. Menanyakan pada bulan dan bintang yang setia menyinari malam. Akankah mereka memberiku jawaban atas pertanyaan yang harus terjawab malam itu.
Bersastra lagi nih yeeeeeeee ??? mudah-mudahan tidak ndeso lagi
Aku keluar menuju depan rumah. Dengan HP di tangan, aku duduk di pinggir terasku. Aku mulai mencari nomor HP. Setelah kutemukan, aku menekan tombol ake dan memanggil. Aku menelpon guru spiritualku sekaligus orang yang kuanggap sebagai orang tuaku di Makassar. Karena keputusan Ia atau tidak juga sangat tergantng sama beliau.
Paragraf sebelumnya yang di atas, yang sok bersastra tadi Cuma basa-basi. Sebagai penghias saja. Hehehehe.........
Aku menceritakan apa yang terjadi dan meminta pandangan serta pendapat. Segala pandangan dan petuahpun aku terima. Hingga sampai pada kesimpulan akhir. Setuju.
Akupun kemudian menyampaikan kesetuajuan itu kepada bapakku. Dan semua bersorak gembira.
Setelah itu, aku menanyakan pada ibuku tentang sosok sepupuku itu. Kata ibu, waktu dia datang ke rumahku Enam bulan sebelumnya, waktu bapaknya (saudara kandung bapakku) meninggal, orangnya tinggi. Pakai jibab besar sampai lutut. Kayak orang pakai mukena. Terus warna pakaiannya suka yang gelap-gelap. Hitam atau Biru tua atau cokelat. Juga pakai sarung kaki dan sarung tangan. Kalau bicara sama laki-laki bukan muhrim, selalu menundukkan kepala. Ketika aku menanyakan apakah dia pakai cadar atau tidak, ibuku menjawab tidak.
Hampir kayak Ayat-ayat Cinta. Aku kan memang Fahri. Fahri dari Hongkong
Aku mengangguk-anggukan kepala. Menyatakan mengenal orang-orang seperti itu.
Acara 1 pekan lagi. Semua keluarga besar sudah bermusyawarah. Dari nenek, paman, tante, semuanya ikut terlibat. Dan sebagian besar mereka sepakat dengan rencana itu. Tapi ada juga yang tidak sepakat. Bukan tidak sepakat atas pernikahan. Tapi tidak sepakat kalau aku menikah dengan sepupuku.
Rencana-rencanapun dipersiapkan. Rencana anggaran dan biaya, perlengkapan, konsep acara, dan sebagainya. Bahkan kolega-kolega bapakku yang mengetahui hal tersebut, turut bahagia. Beberapa di antara mereka ikut memberikan ide. Dan menyiapkan rencana-rencana besar untukku. Semua bahagia, semua tersenyum, semua memberi selamat, semua telah dipersiapkan. Acaraku satu pekan lagi. Tinggal Tujuh hari lagi..............
Nantikan kelanjutannya di Diary 3. Badai di Awal Bahagia (Eh, kayak judul Lagu. Atau film ya ?)
SERANGAN BALIK (episode 2 Diary…………….???)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
pakkkakala, narsiss, pokoknya nia' ngasengmi karakter dari dede tulisan diatas....hehehhe
Posting Komentar