Kota bandung, Gerlong Girang. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah itu. Melihat keramaian dan kepadatannya. Bebukit, dingin, padat, dan orang-orangnya memang lembut cara bicaranya. Ternyata memang tidak sama dengan Kota Anging Mamiri, Makassar. Datar, panas, sedikit padat, dan orang-orangnya kata orang-orang agak kasar. Selembut-lembutnya orang Makasar, semarah-marahnya orang Bandung, katanya. Tapi aku tidak peduli. Di hatiku Makassar no 1.
Hampir 2 pekan aku berada di kota itu. Satu hari sebelum kepulanganku, Adikku mengajak jalan-jalan ke pusat perbelanjaan pakaian Pasar Baru. Membeli oleh-oleh untuk di bawa pulang. Katanya pakaian di Bandung haraganya murah-murah. Membawa duit secukupnya, berharap bisa membeli pakaian yang banyak untuk di bawa pulang. Dari satu lantai ke lantai yang lain kami berkeliling. Memlih, menawar, kemudian membayar. Hampir dua jam kami berada di dalam sampai akhirnya masuk waktu shalat Jumat. Kami menghentikan aktifitas, shalat jumat bersama di lantai paling atas. Khutbah Jumat waktu itu temanya keutamaan beramal dan berinfaq. Selesai shalat Jumat kami langsung pulang.
Di luar, kami menunggu angkutan kota. Memilih angkot yang penumpangnya sudah agak penuh supaya bias langsung berangkat. Tapi agak sulit menemukan kondisi angkot yang seperti itu. Dengan terpaksa kami menaiki angkot yang masih sepi, dan kamilah penumpang pertamanya. Tapi dengan tidak menunggu terlalu lama, angkot itu sudah terisi penumpang dengan cepat sampai akhirnya angkot itu sesak kelebihan penumpang.
Secara hati-hati sopir angkot menginjak gas mobilnya dan angkotpun berjalan secara perlahan.
Dengan secepat kilat, tiba-tiba aku melihat dua bocah menggapai, melompat menaiki angkot dan segera berdiri di pintunya. Kelihatannya mereka sudah terbiasa seperti itu. Karena kulihat tidak ada katekutan dan keragu-raguan saat dia menaiki mobil itu. Aku menatap mereka lekat. Seorang anak perempuan dan satu lagi anak laki-laki. Sepertinya mereka bersaudara. Karena kulihat ada kemiripan wajah dari keduanya.
Kuperkirakan umur anak perempuan itu sekitar 7 tahun. Saat itu dia memakai baju kaos warna putih, dan celana panjang warna merah. Tubuhnya seperti tidak terurus. Pakaian yang compang-camping. Wajah yang semestinya putih bersih dan ceria seperti anak-anak yang lain, terlihat hitam legam dengan banyak noda hitam yang membalutnya. Rambutnya kusam kemerah-merahan. Sebuah tas kecil diselendangkannya. Di tangannya ia memegang sebuah alat music. Tapi tidak tau harus kuberi nama apa alat music itu. Hanya terbuat dari beberapa tutup minuman botol yang terpaku pada sebuah kayu. Sekedar menghasilkan suara seadanya.
Dan bocah laki-laki itu baru berumur 4 tahun. Masih sangat lucu sekali. Ia mengenakan topi hijau dengan baju kemeja kumal kotak-kotak. Sesekali dia menerik napas panjang dan keras. Mencoba menarik sesuatu yang mau keluar dari hidungnya. Tangan mungilnya memegang sesuatu yang berbentuk gendang. Sepertinya alat music juga. Tapi sekali lagi aku tidak tau harus memberi nama apa pada alat music yang dibawanya.
Mereka tersenyum. Tapi aku tidak bias membaca arti senyuman itu. Bukan ! Bukan senyuman kebahagiaan. Sulit untuk menerjemahkannya. Dengan sorotan mata yang tajam, dua bocah itu menatap satu persatu penumpang di atas mobil itu.
Dengan suara yang sangat lirih mereka menyapa “assalamualaikum”. Setelah itu tanpa ada komando mereka memainkan alat musiknya. Dengan lincah bocah laki-laki itu memukul gendangnya, dan bocah perempuan memukulkan kayu kumpulan tutup botol yang terpaku ke tangannya.
“Yank, foto siapa di dompetmu
Yang, cobalah jujur padaku
Yang, masih pantaskah kau kupanggil saying”
“Aku tak mau bicara sebelum kau cerita semua
Apa maumu, siapa dirinya. tak pernah bilang ada yang lain
Jangan hubungiku lagi. Ini bias jadi yang terakhir
Aku ngerti kamu, kau tak ngerti aku. Sekarang atau tak selamanya”
Bocah perempuan itu menyanyi. Tepatnya sekedar menyanyi. Kalau saja itu adalah pentas Indonesian Idol, pasti merekalah yang akan mendapatkan kritikan yang sangat pedas dari Anang Hermansyah. Nadanya, napasnya, liriknya, temponya, pokoknya hancur tak beraturan. Tapi seolah tidak mempertimbangkan reaksi telinga para penumpang, mereka mengulangi lagu itu sampai dua kali. Melengking tercekik. Mungkin itu sebabnya ibu-ibu yang di dalam mobil tersenyum geli mendengarnya, begitu juga penumpang yang lain.
Mobil melaju kencang. Tapi dua bocah itu masih tetap bertahan di pintu mobil itu. Ya Allah, aku tidak bias membayangkan kalau sampai tubuh mungil itu terlempar dari tempatnya sekarang.
“terima kasih” dua bocah itu menutup lagunya. Dengan segera bocah laki-laki itu membuka topinya dan menyodorkannya kepada para penumpang. Berharap pemberian untuk membeli sesuap nasi hari ini. Aku dan para penumpang lain segera merogoh kantong. Memberi untuk mereka. Mereka tersenyum. Bahagia ku lihat di wajah mereka.
Pada saat mobil melaju kencang di sebuah tikungan, di tengah-tengah keramaian jalan raya, tiba-tiba saja mereka melompat saling berpegangan. Kami semua berteriak. Terkejut. Takut sesuatu akan terjadi pada mereka. Tapi tidak. Mereka berdiri dengan sigap. Semua mengurut dada lega.
Bocah perempuan itu masih saja memegang tangan adiknya. Dan mobil yang kami tumpangi berlalu meninggalkan jejak suara cempreng dua bocah itu.
Ya Allah, di balik suara nyaringnya aku mendengar hati mereka bernyanyi. Nyanyian tangis yang menyayat. Ada impian di balik senyumnya. Ada harapan di sudut tatap matanya. Mereka ingin bahagia. Mereka ingin ceria. Karena mereka punya impian dan cita-cita. Ya Allah lindungi mereka dari keserakahan duniaMu.
Dua Bocah
Langganan:
Postingan (Atom)